Perppu Nomor 2 Tahun 2022
Menjelang Tahun baru 2023, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Nomor 11 tahun 2022. Sontak saja PERPPU ini menuai kontrovesi dari banyak pihak.
Mulai dari pakar hukum, anggota dewan, politisi dan aktivis. Tentu saja para buruh yang paling keras bereaksi merespon hal itu. Aksi turun ke jalan pun digelar berbagai organisasi buruh seantero Indonesia.
Sejumlah pasal dianggap kontroversial, salah satunya mengenai hari libur. Misalnya mengenai ketentuan cuti. Perppu Cipta Kerja hanya menegaskan kewajiban perusahaan memberikan cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja minimal setahun. Namun peraturan yang baru tidak menyebutkan ketentuan mengenai hal ini.
Tak berlebihan bila PERPPU ini kemudian dicurigai hanya menguntungkan pengusaha dan merugikan para pekerja. Federasi Serika Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES-R) yang merupakan salah satu afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Perppu nomor 2 tahun 2022 ini karena isu sektor ketenagakerjaan yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020. Tidak sesuai dengan yang diharapkan kaum buruh/pekerja.
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia atau ASPEK Indonesia menuding Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai siasat pemerintah. Presiden ASPEK Indonesia. Mirah Sumirat ’’kehadiran Perppu Cipta Kerja merupakan langkah pemerintah untuk tetap memberlakukan Omnibus Law yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ucap Mirah Sumirat {presiden ASPEK} sebagaimana yang dimuat di portal Kompas.
Suara Penolakan Kelompok Buruh
Beberapa elemen organisasi merespon PERPPU Cipta Kerja dengan keras. Dilansir dari detik.com, Partai buruh, KSPI dan afiliasi KSPI dengan tegas menolak isi Perppu dengan menggelar demonstrasi pada 14 Januari 2023.
Menurut Said Iqbal ada sembilan masalah dalam Perppu Cipta Kerja. Kesembilan isu itu adalah terkait dengan pengaturan upah minimum, pengaturan outsourcing, pengaturan uang pesangon, pengaturan buruh kontrak, pengaturan PHK, pengaturan TKA, pengaturan sanksi pidana, pengaturan waktu kerja, dan pengaturan cuti.
PERPPU cipta kerja dalam perspektif hukum
Dari kaca mata hukum Penerbitan Perppu ini menuai pro dan kontra. Dikutip dari tempo.com, Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
Menurutnya Perppu hanya bisa lahir jika keadaan darurat. Sementara dari keterangan pemerintah perppu diterbitkan dengan alasan kerisauan atas situasi ekonomi global.
Perpu Cipta Kerja dikeluarkan saat hari kerja terakhir menjelang tutup tahun 2022. Saat itu situasinya masyarakat sedang ingin menikmati malam tahun baru.
Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Tata Negara sekaligus Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menilai bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja seperti memanfaatkan konsep “kegentingan yang memaksa”, dikutip dari Tribunnews.
“Dalam bahasa pemberitaan disebutkan “Perppu ini menggugurkan Putusan MK”. Inilah kesalahan besarnya. Artinya, Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan, dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi,”ujarnya.
Pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan dengan tegas bahwa penerbitan Perpu Cipta Kerja tidak menyalahi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Mahfud MD, MK tidak pernah membatalkan isi dari UU Cipta Kerja. Hanya menyatakan agar prosedur pembentukan UU Ciptaker harus diulang di mana harus ada ketentuan omnibus law sebagai bagian dari proses registrasi.
Sangat disayangkan, sejak kurun adanya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021 hingga diterbitkannya Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, sebagaimana kita ketahui tidak cukup banyak sosialisasi atau diskusi publik terkait akan diterbitnya Perppu Cipta Kerja.
Presiden Jokowi dalam menerbitkan Perppu dianggap tergesa gesa dan definisi darurat yang menjadi dalih pemerintah bisa menjadi perdebatan dari berbagai pihak.
Sedarurat apa? Hanya pemerintah yang bisa menilai secara obyektif atau pun subyektif.
(Dari berbagai sumber).