“Wabah” Senyap di Balik Norma Usang:
Alarm K3 center sebagai Katalis Penegakan Hukum Penyakit Akibat Kerja

Anggap saja ini bisikan sunyi di lorong-lorong industri—suara batuk yang tak terjelaskan, nyeri punggung kronis yang dianggap “biasa”, kulit yang bereaksi terhadap zat yang seharusnya aman, kelelahan mental yang tak terdiagnosis.
Inilah wajah Penyakit Akibat Kerja (PAK), sebuah epidemi senyap yang menggerogoti produktivitas dan martabat pekerja, seringkali tak terlihat, tak tercatat, dan yang paling krusial, tak tersentuh oleh jangkauan hukum yang seharusnya menjadi payung pelindung. Paradoksnya terletak di sini: Indonesia memiliki kerangka hukum K3 yang, di atas kertas, mestinya menjamin lingkungan kerja yang aman, namun realitas di lapangan, terutama dalam identifikasi dan penegakan terkait PAK, menunjukkan jurang pemisah yang menganga. Ada korelasi terbalik yang menyayat hati: semakin PAK tersembunyi, semakin lemah penegakan pasal-pasal K3 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, menciptakan lingkaran setan yang merugikan pekerja.
Mari Kita merenung sejenak pada fondasi hukum K3 di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja adalah mercusuar yang telah berdiri kokoh puluhan tahun. Pada masanya, ia mungkin progresif, menetapkan syarat-syarat keselamatan umum dan kewajiban pengusaha. Namun, waktu berjalan, bentuk-bentuk pekerjaan berubah, teknologi berkembang pesat, dan hazard di tempat kerja menjadi semakin kompleks, tak lagi hanya berwujud fisik yang kasat mata. PAK, dengan latensi dan etiologi yang seringkali multifaktorial, menantang norma-norma identifikasi dan pembuktian yang mungkin belum sepenuhnya diantisipasi dalam spirit awal UU 1/1970.
Ia mulai usang, bukan dalam semangatnya untuk melindungi, tetapi dalam implementasi praktisnya untuk menangani kompleksitas K3 modern, terutama PAK yang membutuhkan pendekatan yang lebih dinamis, berbasis data, dan partipatif. Pasal-pasal K3 dalam UU Ketenagakerjaan (misalnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban pekerja/pengusaha terkait K3) memang memberikan kerangka yang lebih luas, namun penegakannya tetap terhambat oleh akar masalah fundamental: invisibilitas PAK. Bagaimana hukum dapat ditegakkan, bagaimana sanksi dapat diberikan, jika PAK itu sendiri tidak teridentifikasi atau, lebih buruk, sengaja disembunyikan?
Inilah titik krusialnya, celah yang membutuhkan intervensi sistemik. Penegakan hukum K3, khususnya terkait PAK, sangat bergantung pada data. Ia memerlukan laporan, investigasi, dan pembuktian kausalitas. Namun, sistem pelaporan konvensional seringkali birokratis, rumit, dan yang paling fatal bagi pekerja, tidak memberikan jaminan keamanan atau kepercayaan diri untuk melaporkan. Pekerja takut kehilangan pekerjaan, takut dituduh lalai, takut menghadapi proses yang panjang dan melelahkan tanpa hasil yang pasti. Mereka, individu yang paling rentan dan paling mengetahui gejala awal PAK pada diri maupun rekan kerjanya, justru menjadi mata rantai terlemah dalam sistem pelaporan yang ada. Ini menciptakan situasi di mana hukum, yang seharusnya pro-pekerja, menjadi tumpul karena ketiadaan informasi yang akurat dan timely.

Di sinilah urgensi sebuah sistem pelaporan terpadu seperti “Alarm K3 IndustriALL Indonesia Council” menemukan signifikansinya yang mendalam dan mendesak. Bayangkan ini: sebuah platform yang dibangun oleh dan untuk pekerja, sebuah kanal yang aman dan mudah diakses untuk mencatat setiap gejala yang dicurigai sebagai PAK, setiap kondisi kerja yang berpotensi menimbulkan hazard kesehatan jangka panjang, bahkan setiap near miss yang mengindikasikan risiko sistemik. Alarm K3 bukan sekadar database, ia adalah sistem saraf yang menghubungkan pengalaman individu pekerja dengan potensi identifikasi masalah K3 berskala lebih besar. Ia adalah mata dan telinga yang krusial, mengumpulkan data mentah dari lini depan produksi atau layanan—data yang luput dari pantauan inspektorat yang terbatas atau sistem pelaporan formal yang kaku. Data ini, ketika dianalisis, dapat mengungkapkan pola, mengidentifikasi hazard spesifik, dan menunjuk pada potensi kasus PAK yang sebelumnya tidak disadari atau diabaikan.
Kontemplasi ini membawa kita langsung kepada kondisi spesifik para pekerja di sektor rumah sakit dan industri farmasi, banyak di antaranya bernaung di bawah FSP FARKES REFORMASI. Sektor ini adalah arena multidimensional hazard. Di rumah sakit, pekerja terpapar hazard biologis (infeksi nosokomial, tumpahan cairan tubuh), kimia (desinfektan, obat sitostatika), fisik (radiasi, kebisingan), ergonomis (mengangkat pasien, posisi kerja statis), dan psikososial (stress kerja tinggi, jam kerja panjang, kekerasan verbal/fisik). Di industri farmasi, hazard kimia (bahan baku obat, pelarut), fisik (mesin berat, kebisingan), dan ergonomis juga sangat dominan. PAK di sektor ini bisa berwujud infeksi, alergi, dermatitis, asma okupasi, musculoskeletal disorders, stress pascatrauma, hingga potensi kanker jangka panjang akibat paparan zat karsinogenik. Pekerja-pekerja ini, ironisnya, justru yang paling rentan namun seringkali kurang terlindungi oleh sistem K3 internal yang memadai, atau terhalang untuk melaporkan karena hierarki dan budaya kerja.
Bagi anggota FSP FARKES REFORMASI, Alarm K3 IndustriALL Indonesia Council dapat menjadi katalisator yang sangat vital. Ia menyediakan wadah yang relatif aman (dibanding jalur formal internal perusahaan atau pemerintah yang berbelit) untuk mencatat gejala atau kondisi yang mereka alami atau lihat. Laporan-laporan ini, yang dikumpulkan melalui Alarm K3, bukan hanya menjadi bukti awal potensi PAK, tetapi juga menjadi dasar yang kuat bagi FSP FARKES REFORMASI untuk melakukan advokasi. Serikat pekerja dapat menggunakan data teraggregat dari Alarm K3 untuk menekan manajemen agar melakukan perbaikan K3, menuntut investigasi atas kasus-kasus yang dicurigai, atau bahkan mengajukan laporan resmi kepada pihak berwenang dengan bukti awal yang lebih solid. Data dari Alarm K3 mengubah keluhan individu menjadi bukti kolektif, memberikan bobot yang signifikan pada upaya penegakan hukum K3.
Data yang dihasilkan oleh Alarm K3 secara langsung berkorelasi dengan potensi penegakan hukum K3. Ketika sistem ini mencatat beberapa laporan dari lokasi yang sama mengenai gejala atau kondisi serupa (misalnya, banyak pekerja di bagian peracikan obat melaporkan gejala pernapasan atau kulit), ini menjadi “alarm” bagi serikat pekerja dan, jika diintegrasikan atau disampaikan dengan tepat, bagi pihak berwenang. Informasi ini memungkinkan identifikasi awal: “Ada sesuatu yang salah di sini.” Ini memberikan bahan bakar untuk langkah penegakan hukum: inspeksi yang ditargetkan untuk mengukur paparan, investigasi medis untuk mengaitkan paparan dengan gejala, dan akhirnya, jika terbukti, penegakan pasal-pasal K3 atau bahkan tuntutan ganti rugi terkait PAK. Tanpa laporan awal yang terorganisir dan terpercaya dari pekerja, proses identifikasi dan penegakan hukum ini seringkali bahkan tidak pernah dimulai.
Alarm K3, dalam konteks ini, juga ‘menggugat’ keusangan UU 1/1970 secara implementatif. Sementara spirit pencegahan dan perlindungan dalam UU tersebut tetap relevan, mekanisme operasionalnya untuk menangani hazard modern dan PAK seringkali ketinggalan zaman. Sistem pelaporan yang terintegrasi seperti Alarm K3 modern memberikan data empiris yang sangat dibutuhkan untuk ‘menghidupkan’ kembali semangat UU 1/1970 dan pasal K3 dalam UU Ketenagakerjaan dalam konteks abad ke-21. Ia menyediakan bukti berbasis data yang dapat mendorong reformasi hukum, pembaruan standar paparan, atau pengembangan panduan spesifik untuk industri seperti farmasi dan rumah sakit—area yang mungkin belum tercover secara memadai oleh regulasi yang lebih tua. Ia menunjukkan di mana celah implementasi berada dan mengapa reformasi atau setidaknya penyesuaian interpretasi hukum sangat diperlukan.
Penting untuk dipahami bahwa Alarm K3 IndustriALL bukan solusi tunggal untuk seluruh masalah K3, tetapi merupakan komponen kunci yang hilang dalam ekosistem penegakan hukum K3 di Indonesia, khususnya terkait PAK. Ia adalah jembatan antara realitas di lantai produksi/layanan dan teks hukum di atas kertas. Ia memberdayakan pekerja, yang selama ini pasif atau terintimidasi, menjadi agen perubahan dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman. Seperti diungkapkan seorang pakar K3, “Data insiden dan penyakit akibat kerja adalah mata dan telinga sistem K3. Tanpa mekanisme pelaporan yang kuat dan tepercaya, regulasi hanya menjadi dokumen tanpa denyut kehidupan.” Alarm K3 bertujuan untuk memberikan denyut kehidupan itu.
Pada akhirnya, korelasi antara Penyakit Akibat Kerja dan penegakan pasal K3 dalam UU Ketenagakerjaan adalah hubungan sebab-akibat yang kompleks, di mana kurangnya identifikasi PAK (akibat sistem pelaporan yang lemah dan kerangka hukum yang menua) secara langsung menghambat penegakan hukum. Urgensi Alarm K3 IndustriALL Indonesia Council terletak pada kemampuannya untuk memutus lingkaran setan ini. Dengan menyediakan platform pelaporan yang aman, terintegrasi, dan berbasis pekerja, ia dapat mengungkap wabah senyap PAK, memberikan data yang vital bagi penegakan hukum, memberdayakan serikat pekerja seperti FSP FARKES REFORMASI untuk advokasi yang efektif di sektor rumah sakit dan farmasi, dan bahkan memberikan dorongan empiris untuk pembaruan kerangka hukum yang sudah usang seperti UU 1/1970 dalam konteks implementasinya.
Saatnya bagi suara-suara yang terbungkam oleh PAK untuk didengar, dicatat, dan menjadi motor penggerak bagi terwujudnya lingkungan kerja yang benar-benar aman dan sehat, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang yang, meskipun tua, masih menyimpan harapan perlindungan bagi setiap pekerja. Alarm telah berbunyi; kini saatnya bertindak berdasarkan data yang ia kumpulkan.
Mari bersuara, mari berkontribusi
BIDANG K3 FSP FARKES REFORMASI
OLAH KATA TIM MEDIA FSP FARKES-R