Antara Palu dan Pena: Dialektika Perjuangan dan Pencerahan dalam Dekatnya May Day dan Hari Pendidikan 2025

Serial Prakondisi Mayday-Pernyataan Sikap FSP FARKES-Reformasi H-1 Mayday 2025
Pada kalender , tertera dua hari bersejarah yang berurutan: 1 Mei, Hari Buruh Internasional, dan 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional – sebuah kedekatan temporal yang mungkin lebih dari sekadar kebetulan kronologis, melainkan sebuah undangan kontemplasi mendalam tentang jalinan fundamental antara marwah kerja dan martabat akal budi manusia.
Seketika pikiran terlempar pada rentang waktu yang begitu sempit, hanya sekat satu malam, antara gegap gempita peringatan perjuangan kaum pekerja di seluruh dunia pada tanggal 1 Mei dengan khidmat refleksi nation-building melalui pendidikan pada tanggal 2 Mei.
Bukankah ini sebuah ironi, atau justru sebuah penanda esensial?
Kontemplasi ini membawa pada pemahaman bahwa perayaan Hari Buruh bukanlah sekadar ritual tahunan demonstrasi atau tuntutan parsial, melainkan sebuah pengingat abadi akan esensi kerja sebagai fondasi eksistensi manusia dan pembangunan masyarakat.
Ia adalah praksis yang menggerakkan roda ekonomi, menghasilkan nilai, dan pada tingkat paling fundamental, menyediakan sarana keberlangsungan hidup. Namun, di balik heroisme perjuangan buruh, seringkali tersingkap realitas yang pahit: kondisi kerja yang rentan, upah yang tak layak, jaminan sosial yang minim, dan yang tak kalah krusial, ketidakberdayaan struktural yang berakar pada berbagai sebab, salah satunya adalah keterbatasan akses pada informasi dan pengetahuan.
Ini membawa kita pada 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional. Ia mengingatkan pada gagasan luhur Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan sebagai alat pemerdekaan manusia, membentuk karakter, menumbuhkan nalar kritis, dan membuka cakrawala. Pendidikan adalah kunci untuk bergerak keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari keterbelakangan menuju kemajuan.
Jika 1 Mei merepresentasikan kerja sebagai aksi dalam realitas material, 2 Mei merepresentasikan pendidikan sebagai fondasi bagi kesadaran dan potensi.
Lantas, bagaimana mungkin keduanya terpisah? Bukankah kerja yang bermartabat hanya bisa dicapai oleh pekerja yang tercerahkan, dan bukankah pendidikan yang relevan haruslah mempersiapkan individu untuk kerja yang produktif dan adil?
Paradoks ini semakin mengemuka ketika dikorelasikan dengan kondisi nyata di Indonesia. Tingkat literasi baca masyarakat Indonesia, menurut berbagai studi internasional, masih tergolong rendah. Angka ini bukan sekadar statistik di atas kertas; ia memiliki implikasi langsung dan brutal terhadap kondisi ketenagakerjaan. Pekerja dengan tingkat literasi rendah acapkali kesulitan memahami kontrak kerja yang rumit, peraturan perusahaan, hak-hak normatif mereka, bahkan bacaan sederhana terkait keselamatan kerja.
Keterbatasan ini menjadikan mereka rentan terhadap eksploitasi, penipuan, dan perlakuan tidak adil. Mereka kesulitan mengakses informasi terkait peluang kerja yang lebih baik, program pelatihan, apalagi memahami liku-liku hukum ketenagakerjaan atau mekanisme penyelesaian perselisihan industrial. Rendahnya literasi menciptakan jurang pemisah antara pekerja dengan pengetahuan yang seharusnya menjadi tameng mereka, meninggalkan mereka telanjang di hadapan kekuatan kapital yang terorganisir dengan baik dan memiliki akses superior terhadap informasi hukum dan sumber daya.
Di sinilah letak urgensi yang sering terabaikan: pentingnya sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh atau untuk serikat pekerja. Jika sistem pendidikan formal belum sepenuhnya membekali masyarakat dengan literasi fungsional yang relevan dengan dunia kerja dan literasi hukum yang memadai, maka serikat pekerja memiliki peran krusial untuk mengisi kekosongan tersebut. Pendidikan serikat pekerja bukan sekadar pelatihan soft skill atau hard skill teknis, melainkan pendidikan transformatif yang harus mencakup:
pemahaman mendalam tentang sejarah pergerakan buruh, analisis kondisi sosial-ekonomi, pengenalan hukum ketenagakerjaan primer dan sekunder, keterampilan negosiasi, teknik organisasi dan mobilisasi, serta yang terpenting, penumbuhan kesadaran kritis (critical consciousness) tentang posisi mereka dalam struktur produksi dan kekuasaan.
Sistem pendidikan ini memberdayakan pekerja dari dalam, mengubah mereka dari objek menjadi subjek perubahan, membekali mereka dengan “pena” pengetahuan untuk melengkapi “palu” kerja fisik mereka. Ia adalah investasi vital untuk membangun kekuatan kolektif yang cerdas dan strategis.
Pendidikan yang kuat di kalangan buruh, utamanya melalui serikat pekerja, berkorelasi langsung dengan urgensi perjuangan kaum buruh di medan juang yudisial.

Mengapa perjuangan yudisial?
Karena pada akhirnya, banyak hak-hak buruh, yang tertuang dalam undang-undang, harus diperjuangkan dan dijamin melalui mekanisme hukum. Ketika negosiasi menemui jalan buntu, ketika pelanggaran hak terjadi, penyelesaian sengketa industrial di pengadilan atau lembaga quasi-yudisial menjadi tak terhindarkan. Namun, medan yudisial adalah labirin yang kompleks, membutuhkan pemahaman mendalam tentang hukum acara, bukti, dan argumentasi hukum. Pekerja yang tidak teredukasi akan kesulitan menavigasi proses ini, rentan terhadap manipulasi, dan mungkin menyerah sebelum berperang. Pendidikan serikat pekerja yang membekali anggota dengan pengetahuan hukum dasar dan pentingnya pendampingan hukum menjadi vital. Ini bukan hanya tentang memenangkan kasus individual, melainkan membangun preseden hukum, menekan penegakan hukum yang lemah, dan pada gilirannya, berkontribusi pada reformasi hukum itu sendiri.
Ini lantas menuntut sebuah gerakan yang lebih besar: mendorong terbentuknya rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lebih reformatif, yang benar-benar melindungi hak buruh secara komprehensif dan adaptif terhadap perubahan zaman, serta memastikan aktualisasi penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. UU yang ada, terutama pasca-Omnibus Law, dianggap oleh banyak pihak justru melemahkan posisi tawar buruh, mempermudah PHK, memperburuk kondisi kerja precarity, dan membatasi ruang gerak serikat pekerja. Sebuah UU yang reformatif harus didasarkan pada prinsip keadilan sosial, kesetaraan posisi tawar, jaminan perlindungan yang kuat, dan pengakuan terhadap hak berserikat dan berunding secara kolektif sebagai pilar demokrasi industrial.
Namun, UU sehebat apapun hanya akan menjadi macan kertas tanpa aktualisasi penegakan hukum yang efektif. Penegakan hukum yang lemah, diperparah oleh praktik korupsi atau intervensi kepentingan non-hukum, mendelegitimasi sistem itu sendiri.
Urgensi perjuangan buruh di medan yudisial, hanya bisa terjadi bila didukung oleh basis anggota yang tercerahkan melalui pendidikan serikat, adalah katalisator untuk menekan negara agar menjalankan fungsinya sebagai regulator yang adil dan penegak hukum yang imparsial. Ini adalah sebuah dialektika: perjuangan hukum buruh menyingkap kelemahan regulasi dan penegakan hukum, yang kemudian mendorong tuntutan reformasi legislasi dan perbaikan sistem penegakan, yang pada gilirannya akan memperkuat posisi buruh dalam perjuangan mereka.

Pada akhirnya, korelasi tanggal 1 dan 2 Mei ini, Hari Buruh dan Hari Pendidikan, bukanlah sebuah pengamatan post hoc ergo propter hoc, melainkan sebuah penyingkapan kausalitas timbal balik yang mendasar. Kerja tanpa pendidikan hanya akan menghasilkan beban kerja yang menumpul, tanpa kesadaran akan nilai dan hak. Pendidikan tanpa korelasi dengan realitas kerja akan menjadi menara gading yang tak relevan dengan perjuangan hidup mayoritas masyarakat. Di tahun 2025, ketika kita memperingati kedua hari ini secara berurutan, marilah kita merenung: perjuangan kaum buruh yang dilambangkan pada 1 Mei tidak akan paripurna tanpa pencerahan dan pemberdayaan melalui pendidikan yang diperingati pada 2 Mei.
Rendahnya literasi adalah belenggu tak kasat mata yang mengikat kaki buruh pada kondisi ketidakadilan. Pendidikan serikat pekerja adalah kunci untuk membuka belenggu tersebut, membekali buruh untuk berjuang bukan hanya di pabrik atau kantor, tetapi juga di ruang-ruang negosiasi, di forum legislasi, dan yang tak kalah penting, di medan juang yudisial. Hanya melalui sinergi antara palu perjuangan kolektif dan pena pencerahan, serta dorongan gigih untuk reformasi hukum dan penegakan yang adil, martabat buruh dan kemajuan bangsa dapat benar-benar terwujud. Merayakan kedua hari ini secara terpisah adalah kelalaian, merayakannya dalam kesadaran akan jalinan eratnya adalah sebuah keharusan historis dan sosiologis, menuju masa depan di mana setiap pekerja adalah individu yang tercerahkan, berdaya, dan dijamin hak-haknya oleh sistem hukum yang adil dan ditegakkan.
SELAMAT HARI BURUH INTERNASIONAL.
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL.
SALAM PEMBEBASAN NASIONAL-PEMBEBASAN MANUSIA DARI KETERHISAPAN DAN PENINDASAN.
Ide Penulisan : Bidang Advokasi FSP FARKES-R
Olah kata & Visual : Tim Media FSP FARKES-R