KERTAS POSISI MENYAMBUT MAY DAY 2025: NAVIGASI TANTANGAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA DI TENGAH GELOMBANG PERMASALAHAN KETENAGAKERJAAN

Hari Buruh Internasional, atau May Day, yang diperingati setiap tanggal 1 Mei, bukan sekadar momen seremonial tahunan, melainkan sebuah penanda historis perjuangan kaum pekerja di seluruh dunia untuk hak-hak normatif dan kesejahteraan yang lebih baik. Menyambut edisi tahun 2025, lanskap ketenagakerjaan di Indonesia masih diwarnai oleh kompleksitas tantangan struktural dan siklikal yang memerlukan analisis mendalam dan langkah-langkah strategis yang berani. Kertas posisi ini bertujuan untuk mengartikulasikan sikap dan pandangan kritis terhadap beberapa isu krusial yang membayangi para pekerja di Indonesia, khususnya terkait fenomena gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang mengkhawatirkan, serta persoalan kronis lemahnya penegakan peraturan hukum ketenagakerjaan.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja: Refleksi Ketahanan Ekonomi dan Perlindungan Pekerja
Beberapa tahun terakhir, perekonomian global dan domestik menghadapi tekanan signifikan akibat berbagai faktor, mulai dari disrupsi teknologi, transisi energi, perubahan rantai pasok global, hingga dinamika geopolitik. Kondisi ini menciptakan efek domino pada sektor industri dan jasa, yang seringkali berujung pada langkah efisiensi perusahaan, salah satunya melalui PHK massal. Di Indonesia, fenomena gelombang PHK telah menjadi alarm keras yang menyiratkan kerentanan pasar kerja dan perlindungan pekerja. Data resmi maupun laporan serikat pekerja menunjukkan peningkatan signifikan dalam angka PHK di berbagai sektor, termasuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT), garmen, alas kaki, teknologi, dan manufaktur.
Penyebab PHK ini multifaset. Dari sisi makroekonomi, perlambatan permintaan global, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan biaya produksi menjadi pemicu utama bagi industri berorientasi ekspor. Di sisi mikro, adopsi teknologi otomatisasi dan digitalisasi, meskipun esensial untuk peningkatan produktivitas jangka panjang, tak jarang menyebabkan pengurangan kebutuhan tenaga kerja konvensional. Selain itu, restrukturisasi perusahaan, kesulitan finansial, dan praktik relokasi industri juga berperan penting.
Dampak PHK terhadap pekerja sangat mendalam, tidak hanya kehilangan sumber penghasilan utama yang berimplikasi pada kesejahteraan keluarga, tetapi juga tekanan psikologis, kesulitan mencari pekerjaan baru, dan hilangnya jaminan sosial. Dalam banyak kasus, proses PHK juga diduga tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan hukum yang berlaku, terutama terkait hak-hak pesangon dan prosedur konsultasi dengan pekerja/serikat pekerja. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme perlindungan sosial dan jaring pengaman bagi pekerja yang terkena PHK, meskipun telah diatur dalam undang-undang, belum sepenuhnya efektif diimplementasikan di lapangan.
Alarm Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang Nyaring
Selain ancaman kehilangan pekerjaan, pekerja di Indonesia juga masih dihadapkan pada risiko keselamatan dan kesehatan yang tinggi di tempat kerja. Laporan tahunan dari Kementerian Ketenagakerjaan, meskipun mungkin belum sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan (terutama sektor informal), secara konsisten menunjukkan ribuan kasus kecelakaan kerja setiap tahunnya, termasuk yang berakibat pada cacat permanen atau kematian. Angka ini diperkirakan jauh lebih tinggi mengingat banyak insiden yang tidak dilaporkan, terutama di usaha kecil dan menengah (UKM) serta sektor informal.
Kondisi K3 yang mengkhawatirkan ini merujuk pada beberapa akar masalah. Pertama, tingkat kesadaran dan kepatuhan perusahaan terhadap standar K3 masih rendah. Investasi dalam peralatan pelindung diri (APD), pelatihan K3, dan perbaikan lingkungan kerja seringkali dianggap sebagai beban biaya ketimbang investasi jangka panjang. Kedua, pengawasan K3 oleh instansi terkait masih belum optimal. Jumlah inspektur K3 yang terbatas, kurangnya sumber daya, dan tantangan geografis menjadikan cakupan pengawasan sangat terbatas. Ketiga, partisipasi pekerja dan serikat pekerja dalam pengawasan internal K3 masih lemah. Budaya partisipatif dalam mengidentifikasi dan melaporkan potensi bahaya di tempat kerja belum terbangun dengan kuat.
Konsekuensi dari buruknya K3 bukan hanya penderitaan fisik dan mental bagi pekerja dan keluarganya, tetapi juga kerugian ekonomi yang signifikan bagi perusahaan (kehilangan waktu kerja, biaya pengobatan dan kompensasi, kerusakan properti) dan negara (beban biaya perawatan kesehatan, hilangnya potensi produktivitas nasional). Alarm K3 yang nyaring ini menuntut perhatian serius dan langkah intervensi yang komprehensif, bukan sekadar reaktif setelah terjadi kecelakaan.
Lemahnya Penegakan Hukum Ketenagakerjaan: Akar Masalah Sistemik
Kedua isu di atas – gelombang PHK yang tidak selalu sesuai prosedur dan kondisi K3 yang buruk – secara fundamental terhubung dengan isu sistemik yang lebih besar: lemahnya penegakan peraturan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Undang-undang dan peraturan turunan yang mengatur hubungan industrial, hak-hak pekerja (termasuk pesangon dan K3), syarat kerja, dan pengawasan sebenarnya sudah cukup komprehensif di atas kertas. Namun, disparitas antara regulasi dan realitas implementasi di lapangan sangat mencolok.
Beberapa faktor berkontribusi pada kelemahan ini. Pertama, kapasitas dan integritas lembaga pengawasan ketenagakerjaan (inspektorat) yang masih perlu ditingkatkan. Jumlah inspektur yang tidak memadai dibandingkan dengan jutaan unit usaha, keterbatasan sumber daya finansial dan logistik, serta potensi masalah integritas di lapangan menghambat efektivitas pengawasan. Kedua, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang panjang, berbelit, dan mahal bagi pekerja. Akses terhadap keadilan bagi pekerja yang haknya dilanggar masih terbatas. Ketiga, sanksi hukum (pidana maupun administratif) yang dijatuhkan terhadap pelanggar undang-undang ketenagakerjaan seringkali tidak memberikan efek jera yang memadai. Denda yang ringan atau penundaan eksekusi putusan pengadilan menjadi preseden buruk. Keempat, tingkat kesadaran dan pemahaman para pihak (pengusaha, pekerja, bahkan aparat penegak hukum) terhadap substansi undang-undang ketenagakerjaan masih bervariasi.
Solusi Fundamental dan Harapan untuk May Day 2025
Menghadapi tantangan gelombang PHK, alarm K3, dan lemahnya penegakan hukum, May Day 2025 harus menjadi momentum untuk mendorong perumusan dan implementasi solusi fundamental yang bersifat transformatif, bukan sekadar perbaikan kosmetik. Kertas posisi ini mengusulkan beberapa langkah kunci:
Penguatan Jaring Pengaman Sosial dan Mekanisme Adaptasi Pasar Kerja:
1. Meningkatkan efektivitas program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) agar manfaatnya benar-benar dirasakan pekerja yang terkena PHK, termasuk akses pada pelatihan ulang (re-skilling dan up-skilling) yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja terkini.
2. Mendorong dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencari solusi alternatif PHK, seperti pengurangan jam kerja atau pelatihan internal, di tengah kesulitan perusahaan.
3. Memastikan pembayaran pesangon sesuai ketentuan hukum, dengan pengawasan ketat terhadap perusahaan yang lalai atau mencoba menghindari kewajiban.
Peningkatan Komitmen dan Implementasi K3:
1. Mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk meningkatkan jumlah dan kapasitas inspektur K3, termasuk pelatihan berkelanjutan tentang standar terbaru dan penggunaan teknologi dalam pengawasan.
2. Mewajibkan pembentukan Komite K3 (P2K3) yang fungsional di setiap perusahaan sesuai skala risiko dan jumlah pekerja, serta melibatkan serikat pekerja dalam struktur dan aktivitas komite ini.
3. Meningkatkan kesadaran pentingnya K3 di kalangan pengusaha dan pekerja melalui kampanye publik yang masif dan program pendidikan yang efektif.
4. Menegakkan sanksi yang berat dan memberikan efek jera bagi perusahaan atau individu yang melanggar standar K3, terutama yang menyebabkan kecelakaan fatal.
Reformasi Sistem Penegakan Hukum Ketenagakerjaan:
1. Memperkuat kapasitas dan integritas lembaga inspektorat ketenagakerjaan, termasuk memastikan kemandirian dan perlindungan bagi para inspektur dalam menjalankan tugasnya.
2. Menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta memastikan akses yang mudah dan terjangkau bagi pekerja, termasuk melalui bantuan hukum.
3. Me-review dan, jika perlu, merevisi ketentuan sanksi hukum agar memberikan efek jera yang proporsional dengan tingkat pelanggaran.
Meningkatkan transparansi dalam proses pengawasan dan penindakan, serta membangun sistem pelaporan pelanggaran yang mudah diakses dan ditindaklanjuti oleh publik dan pekerja.
Menggiatkan program edukasi hukum ketenagakerjaan bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengusaha, manajer HR, pekerja, dan aparat penegak hukum.
Kesimpulan
Tantangan ketenagakerjaan di Indonesia menjelang May Day 2025—ditandai oleh gelombang PHK yang mengancam stabilitas ekonomi rumah tangga, kondisi K3 yang masih jauh dari memadai, dan kelemahan fundamental dalam penegakan hukum ketenagakerjaan—menuntut kajian serius dan tindak lanjut yang mendesak. May Day 2025 bukanlah perayaan semata, melainkan panggilan kolektif bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk bersinergi dalam upaya menciptakan pasar kerja yang kokoh, humanis, dan berkeadilan. Hanya dengan langkah-langkah reformasi yang berani dan komprehensif, Indonesia dapat mewujudkan visi kesejahteraan bagi seluruh pekerjanya dan membangun fondasi ekonomi yang lebih resilient dan inklusif di masa depan.
Media FSP FARKES Reformasi-Mayday 2025