Mayday: Ketika Detak Jantung Pekerja Kesehatan Menggema, Urgensi Keberpihakan Menjadi Nyata
serial Tulisan Prakondisi Mayday 2025 –Matahari terbit di ufuk timur pada tanggal 1 Mei. Bukan sekadar pergantian hari, tapi gemuruh dalam senyap. Mayday. Hari Buruh Internasional. Lebih dari sekadar libur atau orasi di jalanan, Mayday adalah denyut nadi perlawanan, perenungan mendalam tentang martabat kerja, tentang suara yang sering kali teredam di balik hiruk pikuk tuntutan ekonomi.

Dan di Mayday ini, pikiran saya melayang pada mereka yang berjibaku di garis depan kesehatan. Pekerja farmasi, perawat, dokter, tenaga laboratorium, sopir ambulans, cleaning service rumah sakit – barisan tak terlihat yang menjaga denyut kehidupan tetap berdetak. Di apotek yang buka 24 jam, di ruang operasi yang dingin, di bangsal perawatan yang penuh sesak, mereka adalah benteng terakhir kita melawan penyakit, keputusasaan, dan bahkan kematian.
Pernahkah kita benar-benar meresapi apa artinya menjadi bagian dari industri kesehatan ini? Bayangkan malam-malam panjang tanpa tidur, bergulat dengan resep rumit, menenangkan pasien yang cemas, terpapar risiko infeksi yang tak terhitung jumlahnya. Rasa lelah yang merayap bukan hanya fisik, tapi juga mental, emosional. Mereka menyaksikan drama kehidupan dan kematian setiap hari, menyerap duka dan harapan, seringkali dengan imbalan yang tak sebanding dengan pengorbanan.
Lalu, di mana suara mereka dalam hiruk pikuk regulasi ketenagakerjaan? Di mana keberpihakan kita dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang seharusnya menjadi perisai kesejahteraan mereka? PKB, yang seringkali dianggap sekadar dokumen formalitas, seharusnya adalah kanvas tempat kita melukis harapan, tempat hak-hak pekerja farmasi dan kesehatan diukir dengan tinta keadilan.
Berapa banyak PKB yang benar-benar berpihak pada kebutuhan spesifik mereka? Berapa banyak yang secara konkret menjamin jam kerja yang manusiawi, upah yang layak sesuai risiko dan beban kerja, jaminan kesehatan mental di tengah tekanan profesi yang luar biasa, atau bahkan ruang istirahat yang layak untuk sekadar menarik napas panjang?
Kita berbicara tentang pahlawan tanpa tanda jasa, tapi apakah kita memperlakukan mereka seperti pahlawan dalam kebijakan dan praktik ketenagakerjaan? Jangan biarkan semangat Mayday hanya menjadi retorika kosong. Mayday seharusnya menjadi momentum kontemplasi yang mendalam, panggilan jiwa untuk merefleksikan: sudahkah aturan ketenagakerjaan kita, PKB yang kita susun, benar-benar mencerminkan urgensi keberpihakan pada pekerja farmasi dan kesehatan?
Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, seorang pakar ekonomi dan ketenagakerjaan, pernah mengingatkan: “Pekerja adalah aset terpenting perusahaan dan negara. Kesejahteraan mereka adalah kunci produktivitas dan kemajuan bangsa.” Kata-kata ini bukan sekadar teori ekonomi, tapi resonansi nilai kemanusiaan. Kesejahteraan pekerja farmasi dan kesehatan bukan hanya urusan mereka, tapi urusan kita semua. Kesehatan mereka adalah kesehatan masyarakat.
Mayday bukan hanya tentang masa lalu perjuangan buruh, tapi juga tentang masa depan yang kita impikan. Masa depan di mana pekerja farmasi dan kesehatan tidak hanya dianggap sebagai bagian dari sistem, tapi sebagai jantung dari sistem itu sendiri. Masa depan di mana keberpihakan pada mereka bukan lagi menjadi pertanyaan, tapi menjadi fondasi kebijakan dan praktik ketenagakerjaan yang adil dan manusiawi.
Mari kita gunakan momentum Mayday ini untuk membuka mata, membuka hati, dan bertindak nyata. Mari kita pastikan bahwa suara mereka didengar, hak-hak mereka dilindungi, dan kesejahteraan mereka menjadi prioritas utama. Karena di balik setiap obat yang menyelamatkan jiwa, di balik setiap senyum pasien yang kembali sehat, ada keringat, air mata, dan pengorbanan pekerja farmasi dan kesehatan. Mayday ini, mari kita berdiri tegak di sisi mereka. Mari kita wujudkan keberpihakan yang bukan hanya di kata, tapi dalam aksi nyata.
Tim Media FSP Farkes-R