Mayday: Dari Pekik Jalanan ke Ruang Kontemplasi, Menuju Keadilan Buruh yang Dinanti
Serial Prakondisi May Day 2025, Tim Media FSP FARKES-R
Matahari Mei merekah, namun sinarnya terasa berbeda. Bukan hanya kehangatan musim semi yang menyapa, tetapi juga bara semangat yang membara di dada para buruh. Mayday, selalu menjadi penanda. Bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan seruan lantang yang menggema dari jalanan, pabrik, hingga ruang-ruang sunyi perenungan. Mayday adalah tentang perjuangan, tentang hak yang seringkali tergerus, tentang mimpi akan kehidupan yang lebih manusiawi bagi mereka yang menggerakkan roda ekonomi bangsa.
Tahun ini, Mayday hadir dalam pusaran momentum penting. Mahkamah Konstitusi (MK), dengan palu keadilannya, telah mengetuk babak baru dalam lanskap hukum ketenagakerjaan Indonesia. Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 bukan sekadar rangkaian angka dan pasal, melainkan oase di tengah gurun kekecewaan. Ia adalah pengingat bahwa hukum, meski kadang terasa jauh dari denyut nadi rakyat kecil, masih bisa menjadi benteng harapan. MK membatalkan beberapa ketentuan krusial dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh. Sebuah angin segar, namun sekaligus panggilan untuk kontemplasi yang mendalam.
Kita tiba di persimpangan jalan. Putusan MK memang membuka ruang, sebuah celah harapan untuk menata ulang relasi kuasa antara buruh dan pengusaha. Namun, putusan itu bukanlah akhir dari segalanya, justru menjadi titik awal dari perjuangan yang lebih substansial. Perjuangan untuk merumuskan Undang-Undang ketenagakerjaan yang baru, yang tidak hanya menambal lubang-lubang yang menganga, tetapi membangun fondasi kokoh bagi keadilan buruh yang sejati.
Dalam keheningan Mayday, di antara pekik demonstran dan riuhnya pemberitaan, mari kita merenung. Betapa rapuhnya posisi buruh dalam sistem yang seringkali lebih berpihak pada kepentingan modal. Betapa rentannya mereka terhadap kebijakan yang abai pada hak-hak dasar. Bayang-bayang PHK massal masih menghantui, upah riil terus tergerus inflasi, dan jaminan sosial masih jauh dari kata paripurna. Kita ingat kata-kata bijak dari Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., pakar hukum perburuhan Universitas Indonesia, yang sering mengingatkan bahwa, “Hukum ketenagakerjaan yang adil bukan hanya soal pasal dan ayat, tetapi tentang bagaimana negara hadir untuk melindungi kelompok yang paling rentan dalam relasi industrial.”
Kontemplasi Mayday ini seharusnya membawa kita pada kesadaran kolektif. Bahwa perjuangan buruh bukanlah perjuangan sektoral, melainkan perjuangan kemanusiaan. Keadilan bagi buruh adalah keadilan bagi kita semua. Ketika buruh sejahtera, ekonomi bangsa akan lebih kuat, stabilitas sosial akan terjaga, dan mimpi Indonesia yang adil dan makmur akan semakin mendekat.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Putusan MK 168/PUU-XXI/2023 adalah momentum emas. Kita tidak boleh terlena dengan euforia sesaat. Pekerjaan rumah besar menanti di depan mata, yaitu mengawal lahirnya Undang-Undang ketenagakerjaan yang benar-benar baru. Bukan sekadar revisi tambal sulam, melainkan reformasi fundamental yang berakar pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan.
Mengawal berarti terlibat aktif. Serikat buruh harus bersatu, lebih solid, dan lebih strategis dalam menyuarakan aspirasi. Akademisi dan pakar hukum harus hadir sebagai critical voice yang memberikan masukan konstruktif. Media massa harus terus mengawal proses legislasi ini dengan tajam dan berimbang. Dan yang terpenting, masyarakat sipil harus menjadi pengawas yang kritis, memastikan bahwa suara buruh tidak tenggelam dalam hiruk pikuk kepentingan politik dan ekonomi.
Kita harus memastikan bahwa UU yang lahir nanti benar-benar mencerminkan semangat putusan MK. UU yang menjamin kepastian kerja, upah yang layak, jaminan sosial yang komprehensif, kebebasan berserikat yang sejati, dan perlindungan hukum yang efektif bagi buruh. Jangan sampai momentum ini terlewatkan, jangan sampai harapan buruh kembali pupus.
Mayday 2024 adalah Mayday kontemplasi. Di tengah hiruk pikuk dunia yang terus berubah, kita diingatkan kembali pada nilai-nilai fundamental kemanusiaan. Bahwa di balik gemerlapnya pembangunan, ada jutaan buruh yang menjadi tulang punggungnya. Keadilan bagi mereka bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa.
Mari kita jadikan Mayday ini sebagai titik tolak. Dari kontemplasi menuju aksi nyata. Kawallah lahirnya UU ketenagakerjaan yang baru dengan semangat perjuangan yang tak pernah padam. Demi keadilan buruh, demi Indonesia yang lebih berkeadilan. Karena, seperti kata pepatah bijak, “Keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan.” Jangan biarkan keadilan buruh terus tertunda. Mayday adalah momentumnya, sekaranglah saatnya bertindak.
Tim Media FSP FARKES-R