Apakah Transisi yang Adil: Dari Tambang Batu Bara ke Ladang Server?
Kontemplasi di Simpang Jalan Kapitalisme dan Kecerdasan Artifisial-Sequel Prakondisi Mayday bertema keadilan ekologis

Mayday datang lagi, aroma perjuangan buruh tercium di tengah hiruk pikuk kota yang semakin digital. Dulu, teriakan lantang menentang penindasan kapital, kini, gaungnya bercampur bising algoritma. Kita berdiri di persimpangan jalan, dimana kemajuan AI yang eksponensial—diprediksi oleh Statista, pendapatan perangkat lunak AI global akan mencapai $135 miliar pada tahun 2025—bertabrakan dengan politik kapitalisme yang semakin rakus.
Kapitalisme, dengan mesin efisiensinya yang tak kenal lelah, kini menemukan sekutu baru dalam AI. Otomatisasi menjanjikan laba berlipat, tetapi di balik kilau inovasi, tersembunyi bayang-bayang ketidakpastian bagi kelas pekerja. Pekerjaan-pekerjaan rutin tergerus, keterampilan usang, dan jurang ketimpangan menganga semakin lebar.
Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi, apakah kita masih berpikir tentang nasib sesama? Apakah kita sedang menciptakan masa depan yang adil, atau justru mempercepat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin? Mayday bukan sekadar nostalgia, ini adalah panggilan mendesak untuk kontemplasi, untuk re-evaluasi arah kemajuan kita.
Mungkin bagi sebagian orang, 1 Mei adalah hari libur, kesempatan untuk piknik atau bersantai. Namun, jauh di balik karpet merah diskon dan hiruk pikuk pusat perbelanjaan, 1 Mei atau Mayday adalah denyut nadi sejarah kelas pekerja. Ia bukan sekadar penanda kalender, melainkan monumen hidup bagi perjuangan panjang dan berdarah untuk hak-hak dasar manusia di tempat kerja. Mayday lahir dari rahim gerakan buruh abad ke-19, tepatnya dari tragedi Haymarket di Chicago tahun 1886, ketika para pekerja berjuang untuk sesuatu yang kita anggap remeh hari ini: delapan jam kerja sehari. Dulu, mimpi itu terasa utopis, sekarang menjadi standar, bukti bahwa perjuangan kolektif bukan isapan jempol belaka.
Namun, di era digital yang serba cepat ini, esensi Mayday terasa semakin relevan, bahkan mungkin lebih mendesak. Kita hidup di zaman booming kecerdasan buatan (AI), teknologi yang menjanjikan efisiensi dan inovasi, tetapi juga menyimpan ancaman laten bagi keberlangsungan hidup manusia, terutama para pekerja. Ironi abad ke-21 adalah, di saat kita merayakan kemajuan teknologi, kita juga dihadapkan pada pertanyaan fundamental: kemajuan untuk siapa? Dan dengan harga apa?
Kilowatt Hour Perjuangan: Ketika AI Menggantikan Makna Kerja
Ledakan AI bukanlah dongeng futuristik, ia adalah realitas yang kita hadapi kini. Dari chatbot layanan pelanggan hingga algoritma yang memprediksi tren pasar, AI merasuk ke sendi-sendi kehidupan ekonomi. Namun, di balik gemerlap inovasi ini, tersembunyi paradoks yang menggelisahkan. AI, yang digadang-gadang sebagai mesin efisiensi, membutuhkan asupan energi listrik yang luar biasa besar. Bayangkan saja, pelatihan model AI raksasa seperti GPT-3 dikabarkan menghabiskan listrik setara dengan konsumsi listrik puluhan rumah tangga selama setahun. Belum lagi pusat data (data center) raksasa yang menjadi ‘otak’ AI, beroperasi 24/7, menyedot energi layaknya kota kecil yang terus menyala.
Fakta mencengangkan , Seberapa Lapar AI terhadap Listrik
AI, terutama Large Language Models (LLM) atau model bahasa besar, seperti GPT-4, Gemini, dan Claude,membutuhkan daya komputasi sangat besar. Begitu pula dengan proses pelatihan dan inferensi—penggunaan model untuk menghasilkan respons. International Energy Agency (IEA) memproyeksikan, seiring dengan masifnya penggunaan AI, permintaan listrik pusat data global bakal naik lebih dari dua kali lipat pada 2030, menjadi 945 TWh (Terawatt-hour). Angka tersebut melebihi total konsumsi listrik Jepang saat ini.
Laporan lain dari McKinsey & Company memperkirakan, permintaan daya dari pusat data AS bakal melonjak hingga 606 TWh pada 2030, naik dari 147 TWh pada 2023.Kenaikannya menyentuh angka 11,7 persen dari total permintaan AS. Proyeksi jangka panjang menunjukkan, AI merupakan konsumen listrik dominan, yang berpotensi mengubah lanskap energi global.
Data Penggunaan Energi Listrik oleh AI: Gunung Es di Balik Inovasi
Mari kita coba konkretkan. Menurut perkiraan beberapa studi, konsumsi listrik pusat data global sudah mencapai sekitar 1-1.5% dari total konsumsi listrik dunia. Dan dengan pertumbuhan AI yang eksponensial, angka ini diperkirakan akan melonjak drastis. Beberapa ahli memprediksi bahwa pada tahun 2030, konsumsi listrik sektor TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), yang didorong oleh AI, bisa mencapai 20% dari konsumsi listrik global. Bayangkan, seperlima energi listrik dunia hanya untuk ‘menghidupi’ mesin-mesin pintar ini! Anggaplah, secara kasar, satu pelatihan model AI besar bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan kilowatt hour (kWh) listrik. Angka ini terus membengkak seiring model AI menjadi semakin kompleks dan kebutuhan komputasi meningkat. Ini bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan masalah eksistensial.
Just Transition: Dari Tambang Batu Bara ke Ladang Server?
Di sinilah konsep just transition atau transisi yang adil menjadi krusial. Just transition pada awalnya muncul sebagai respons terhadap transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Ide dasarnya sederhana: transisi menuju ekonomi hijau harus adil dan inklusif, tidak meninggalkan pekerja dan komunitas yang bergantung pada industri lama. Mereka yang terdampak harus mendapatkan dukungan untuk beralih ke pekerjaan baru yang layak dan berkelanjutan.
Namun, di era AI, just transition mendapatkan dimensi baru yang lebih kompleks. Pergantian pekerjaan bukan hanya terjadi dari sektor ‘kotor’ ke ‘bersih’, tetapi dari pekerjaan manusia ke pekerjaan mesin. AI berpotensi menggantikan pekerjaan di berbagai sektor, dari manufaktur, transportasi, layanan pelanggan, bahkan pekerjaan kerah putih seperti akuntansi dan analisis data. Pertanyaannya, bagaimana kita memastikan transisi ini adil? Bagaimana nasib jutaan pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan karena otomatisasi AI?
Apakah just transition hanya berlaku untuk pekerja tambang batu bara, atau juga untuk operator call center yang digantikan chatbot AI, atau analis keuangan yang tergantikan algoritma machine learning?
Eksploitasi Sumber Daya Alam untuk Algoritma: Harga Tersembunyi ‘Kepintaran’
Kebutuhan energi listrik AI yang masif juga membawa implikasi serius terhadap eksploitasi sumber daya alam. Sebagian besar listrik dunia masih dihasilkan dari bahan bakar fosil, terutama batu bara. Jadi, setiap kali kita menggunakan aplikasi berbasis AI, secara tidak langsung kita turut andil dalam membakar batu bara, menghasilkan emisi gas rumah kaca, dan mempercepat krisis iklim. Belum lagi dampak lingkungan dari pertambangan bahan baku mineral untuk baterai dan komponen elektronik yang dibutuhkan pusat data AI.
Semakin ‘pintar’ AI, semakin besar jejak ekologisnya. Kita terjebak dalam ironi kemajuan teknologi yang paradoks. Kita menciptakan teknologi untuk mengatasi masalah, tetapi teknologi itu sendiri justru menciptakan masalah baru, bahkan memperburuk masalah lama seperti ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan.
Menggugah Kesadaran
Seorang pakar lingkungan dan aktivis sosial, Vandana Shiva, pernah berkata:
“Kapitalisme tidak menghargai apa pun yang tidak bisa dikonversi menjadi uang. Ia tidak menghargai alam, ia tidak menghargai masyarakat, ia hanya menghargai keuntungan.”
Kutipan ini sangat relevan dengan isu eksploitasi sumber daya alam untuk AI. Dalam logika kapitalisme, inovasi AI dipandang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan keuntungan, tanpa terlalu mempedulikan dampak ekologis dan sosialnya.
Senada dengan itu, Noam Chomsky, intelektual publik dan kritikus sosial, mengingatkan:
“Optimisme adalah strategi yang buruk. Jika Anda percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja, Anda tidak punya alasan untuk melakukan apa pun. Pesimisme bisa menjadi strategi yang baik. Pesimisme berarti Anda harus melakukan sesuatu, jika tidak, Anda akan menjadi bodoh.”
Kita tidak boleh terjebak dalam optimisme teknologi buta. Kita perlu bersikap kritis dan pesimis yang konstruktif, menyadari potensi bahaya AI dan mendorong tindakan nyata untuk memastikan transisi yang adil dan berkelanjutan.
Mayday di Era AI: Kontemplasi dan Aksi
Mayday tahun ini, di tengah hiruk pikuk inovasi AI, seharusnya menjadi momentum kontemplasi mendalam. Bukan hanya sekadar libur, tetapi seruan untuk kembali merenungkan makna perjuangan. Perjuangan kelas pekerja kini bergeser, dari sekadar menuntut upah layak dan kondisi kerja yang aman, menjadi perjuangan untuk mempertahankan martabat manusia di era algoritma. Perjuangan untuk just transition bukan hanya transisi energi, tetapi transisi peradaban. Transisi dari ekonomi yang berbasis eksploitasi manusia dan alam, menuju ekonomi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpusat pada kesejahteraan bersama.
Mayday bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang merumuskan masa depan. Masa depan di mana teknologi melayani manusia, bukan sebaliknya. Masa depan di mana inovasi tidak mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Masa depan di mana setiap kilowatt hour listrik yang kita gunakan untuk AI adalah kilowatt hour perjuangan, perjuangan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua.
Tim Media FSP Farkes-R
